Penerapan terhadap
Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang (UU) No.29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan RI dalam
menentukan pasangan pemenang atau pasangan terpilih dalam Pemilukada Gubernur
dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah
Khusus Ibukota Jakarta (KPU DKI Jakarta) dinilai tidak sinkron dengan UU lain,
salah satunya adalah Pasal 107 ayat (2) UU No. 12/2008 tentang Pemerintah
Daerah.
“Para
Pemohon sadar UU No. 29/2007 adalah UU Khusus. Tetapi Pasal 11 ayat (2) UU No.
29/2007 sama sekali tidak mengindahkan, dan tidak mengsinkronisasikan dengan UU
lain yang berhubungan langsung dengan Pemilukada (Pemilihan Umum Kepada
Daerah). Pasal ini cacat, dan menjadikan Pemilukada Ibukota Jakarta tidak
efisien,” urai para Pemohon dalam permohonannya, saat sidang pemeriksaan
pendahuluan perkara Nomor 70/PUU-X/2012, di Mahkamah Konstitusi, Jumat (20/7).
Permohonan
yang diajukan oleh Abdul Havid Permana, Mohammad Huda, dan Satrio Fauzia Damardjati
ini mengujikan atas ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU No.29/2007. Para Pemohon
sendiri berstatus sebagai masyarakat biasa di DKI Jakarta, bukan simpatisan
ataupun pendukung dari salah satu calon, seperti tertera dalam permohonannya.
UU tersebut,
menurut para Pemohon, adalah UU khusus yang mengatur jalannya Pemerintahan
Ibukota Jakarta, bukan khusus Pemilukada. “Seharusnya dalam persoalan pemilihan
kepala daerah, KPUD Jakarta menggunakan UU No. 12/2008 (bukan Pasal 11 ayat (2)
UU No.29/2007), yang jelas-jelas mengatur secara keseluruan tahapan-tahapan
Pemilukada,” urai para Pemohon.
Dalam Pasal
11 ayat (1) UU a quo menyebutkan, “Pasangan calon Gubernur dan Wakil
Gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan
sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih”
Kemudian
dalam ayat (2) menyebutkan, “Dalam hal tidak ada pasangan calon Gubernur dan
Wakil Gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diadakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur putaran kedua yang diikuti oleh
pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran
pertama.
Sebagaimana
diketahui, dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diubah
dengan UU No.12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No.32 Tahun 2004
yang diterapkan secara umum memang menentukan terpilihnya pasangan calon dan
pemilu putaran kedua secara berbeda. Dimana UU ini disamping menentukan
mayoritas suara lebih dari 50% untuk terpilihnya pasangan calon, juga
menentukan apabila tidak memenuhi hal tersebut, pasangan calon kepala daerah
dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 30% (tiga puluh
persen) dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar
dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.
Dalam
tuntutan atau petitum para Pemohon di persidangan memohonkan kepada
Mahkamah supaya pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan Pasal 27 ayat
(1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. “Menyatakan (Pasal a
quo) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” jelas kuasa hukum para
Pemohon Iwan Prahara dihadapan Majelis Hakim Konstitusi, yang terdiri atas
Harjono, Hamdan Zoelva (ketua), Anwar Usman.
Legal Standing Pemohon
Dalam sidang
ini, Majelis Hakim Konstitusi diwajibkan memberikan nasihat atas permohonan
para Pemohon. Harjono mengawali dengan mempertayakan tentang kedudukan hukum
(legal standing) para Pemohon. Menurutnya, Pemohon tidak jelas menyebutkan
posisinya dipihak Jokowi-Ahok atau di luar pasangan tertentu. "Apakah Anda
terkait Jokowi-Ahok, atau tutup mata dengan pasangan Pilkada DKI mana
pun?" ujar Hakim Konstitusi Harjono.
Disamping
itu, Harjono juga mengingatkan kepada para Pemohon, dasar pengajuan permohonan
untuk menghapuskan Pemilukada DKI putaran kedua adalah keliru. Disebabkan, para
Pemohon mendasarkan pelaksanaan putaran kedua DKI dari hasil perhitungan cepat
(quick count). "Putaran kedua itu dasarnya rekapitulasi, bukan quick
count," kata Hakim Konstitusi itu.
Hamdan
Zoelva, dalam hal ini menanyakan alasan pengujian yang diajukan para
Pemohon. Menurutnya, "Apakah persoalannya hanya karena tidak sinkron
dengan daerah lain sehingga bertentangan dengan UUD 1945?” tanya Hamdan
“Padahal, banyak norma dalam UU DKI yang tidak sesuai dengan daerah lain.
Kenapa perbedaan yang lain tidak saudara uji juga?" tanya Hamdan.
Menanggapi
sejumlah nasihat yang diberikan oleh Majelis Hakim Konstitusi, Iwan Prahara
mengatakan bahwa pihaknya akan memperbaiki permohonannya. "Permohonan ini
kami buat satu hari setelah perhitungan suara, jadi belum maksimal,"
pungkas kuasa hukum para Pemohon tersebut. (Shohibul Umam/mh)
URL : https://sinarpagisptsm.blogspot.com/2012/07/aturan-putaran-kedua-dki-jakarta.html