Jakarta—
Perempuan muslim
yang tidak dikhitan, dinilai melanggar hak asasi manusia (HAM).
Karena itu, anak perempuan harus dikhitan orangtuanya, karena manfaat bagi yang
bersangkutan sangat besar. Di samping menjaga kesehatan, khitan bagi anak perempuan juga dapat menjaga nafsu berlebihan.
bersangkutan sangat besar. Di samping menjaga kesehatan, khitan bagi anak perempuan juga dapat menjaga nafsu berlebihan.
Penegasan ini
disampaikan oleh Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof DR Hj Huzaemah Tahido Yanggo, pada konferensi
internasional tentang fatwa, yang berlangsung sejak 24 – 26 Desember di Hotel
Borobudur, Jakarta.
Mempresentasikan
makalah bertajuk Pentingnya Khitan Bagi Anak Perempuan, Rabu (26/12), Huzaemah
menjelaskan bahwa khitan bagi perempuan memiliki manfaat besar.
“Jika tidak
dikhitan, hal itu justru bisa membawa keburukan pada diri perempuan itu
sendiri,” terang Huzaemah.
Lebih lanjut,
Huzaemah menjelaskan bahwa khitan perempuan sudah lama dilaksanakan dalam
Islam. Bahkan, Rasulullah Saw. mengkhitan putrinya sendiri. Namun demikian,
Huzaemah tegaskan bahwa khitan bagi anak perempuan berbeda dengan khitan bagi
anak laki-laki. Untuk lelaki, ketika dikhitan mengundang banyak orang (sesuai
kultur daerahnya), kalau perempuan tidak. Bahkan khitan untuk
Lelaki juga ada yang dilakukan melalui khitanan massal.
Lelaki juga ada yang dilakukan melalui khitanan massal.
Tentang ini,
Huzaemah sadar bahwa pendapatnya tidak sejalan dengan imbauan Badan Kesehatan
Dunia (WHO). Sebagaimana diketahui, WHO
sebelumnya mengelurkan imbauan agar perempuan dilarang untuk dikhitan.
Pasalnya, hal tersebut merupakan tindakan melanggar HAM.
Selain itu, khitan dinilai bisa mengurangi kenikmatan perempuan dalam melakukan
aktivitas seksualitas bersama pasangannya.
Pada kurun tahun
2006, Kementerian Kesehatan juga pernah mengeluarkan imbauan larangan khitan
bagi perempuan. Larangan ini pun kemudian menimbulkan kontroversial di
masyarakat. Huzaemah yakin bahwa larangan tersebut juga dilatarbelakangi oleh
imbauan WHO.
“Padahal,
imbauan tersebut sungguh tidak tepat,” tegas Huzaemah.
Terkait hal ini,
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernag mengundang
pihak-pihak yang memiliki otoritas di bidang kesehatan, termasuk dari kalangan
medis dan Kementerian Kesehatan. Dalam pertemuan tersebut, diperoleh kejelasan
bahwa imbauan WHO tersebut, bukan tentang khitan dalam
pengertian sebagaimana yang dipahami oleh umat Islam.
WHO memahami khitan seperti melakukan mutilasi pada bagian
“kewanitaan”. Menurut Huzaemah, WHO melihat kasus
tersebut terjadi di Afrika. Adapun khitan yang benar hanya memotong bagian atas
“clitoris”. Itupun dilakukan sekedarnya, hanya buka selaput bagian atasnya,”
jelas Huzaemah.
Sebagai
solusinya, MUI meminta jajaran kesehatan untuk
melakukan pelatihan kepada para bidan, dokter dan paraji tentang cara melakukan
khitan bagi wanita. Hasilnya, memang menggembirakan dan para wanita muslim
tetap dikhitan sampai saat ini.
Disinggung
tentang manfaat khitan bagi perempuan, Huzaemah menjelaskan bahwa hal itu bisa
menstabilkan syahwat wanita dan menghilangkan bau.
“Jika tak
dikhitan, bau bisa melekat dan bersarang pada bagian “kewanitaan”, terang
Huzaemah.
Manfaat lainnya,
kebersihan tentu bisa terjaga sehingga prilaku wanita ke depan akan lebih baik
sesuai tuntunan ajaran agama. “Mengikuti syariat Islam kan itu baik,” kata
Huzaemah.
Mengingat
manfaatnya yang besar, Huzaemah pun berharap khitan bagi perempuan dapat
dimasukkan sebagai bagian dari rekomendasi konferensi tentang fatwa.
Terkait dengan
dinamika pembahasan fatwa selama konferensi berlangsung, Huzaemah mengatakan,
para ulama Indonesia mendapat pencerahan tentang bagaimana memutuskan fatwa.
Sebab, dalam pembahasan di konferensi itu dibicarakan tentang teknologi,
astronomi, kedokteran, ekonomi, hukum dan sosial budaya. (ESS)
URL : https://sinarpagisptsm.blogspot.com/2012/12/huzaemah-t-yanggo-perempuan-dikhitan.html