Jakarta-
Pemerintah
menyambut baik gagasan penyelenggaraan pemilihan umum serentak, baik untuk
presiden, legislatif, maupun kepala daerah. Pemerintah akan proaktif merumuskan
pengaturan tentang pemilu serentak bila Dewan Perwakilan Rakyat menyepakati hal
itu.
Hal ini
disampaikan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi di Jakarta, Sabtu (4/8). Dari
pengalaman pemilihan umum kepala daerah (pilkada) serentak di Sumatera Barat
dan Aceh beberapa waktu lalu, biaya pilkada menjadi jauh lebih hemat, tenaga
lebih efisien, dan masyarakat tidak perlu berulang-ulang ke tempat pemungutan
suara.
Karena itu,
dengan mengikuti pedoman dan data yang ada, pemerintah akan merumuskan
pengaturan daerah mana yang perlu dimajukan atau dimundurkan supaya
pelaksanaannya lebih efektif. Pilkada serentak bisa juga dibagi menjadi dua
kali sebagai masa transisi dan supaya tidak terlalu banyak menunjuk penjabat
kepala daerah.
”Yang
terpenting adalah terus mendorong perbaikan pemilu,” ujar Gamawan.
Dihubungi terpisah, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya Ramlan Surbakti mengatakan, secara teknis pemilu serentak jauh lebih mudah untuk penyelenggara pemilu. Apalagi, dalam Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, KPU diwajibkan memelihara data pemilih setiap tahun.
Dihubungi terpisah, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya Ramlan Surbakti mengatakan, secara teknis pemilu serentak jauh lebih mudah untuk penyelenggara pemilu. Apalagi, dalam Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, KPU diwajibkan memelihara data pemilih setiap tahun.
”Pemilu
serentak akan memudahkan tugas dan fungsi KPU selama lima tahun, tidak seperti
saat ini. Selain itu, efisiensi biaya jelas juga akan terjadi,” ujar Ramlan,
kemarin.
Ramlan
mengusulkan pemilu serentak dilakukan dalam bentuk pemilu nasional dan pemilu
lokal. Pemilu nasional memilih presiden dan DPR, sementara pemilu lokal untuk
menentukan kepala daerah dan DPRD.
Karena UU
Pemilu Legislatif sudah ditetapkan awal tahun ini, diperkirakan pemilu serentak
baru bisa direalisasikan 2019 secara bertahap dan utuh pada 2024. Selain untuk
mengurangi persoalan dengan pengurangan masa jabatan, juga perlu simulasi.
Siapkan
aturan transisi
Untuk
mempersiapkannya, pemerintah dan DPR bisa mengatur aturan transisi dalam RUU
tentang Pilkada yang sedang dibahas. ”Akan sangat bagus bila dibuat ketentuan
peralihannya menuju 2019. Misalnya, kepala daerah yang masa jabatannya berakhir
tahun tertentu, pilkada dilaksanakan di tahun sekian. Sepanjang ada komitmen
dan kesepakatan politik, ini tidak akan menjadi masalah,” tuturnya.
Ditemui
terpisah di kediamannya menjelang buka puasa bersama, kemarin, Ketua Umum
Partai Demokrat Anas Urbaningrum tidak terlalu sepakat dengan gagasan pemilu
serentak. Menurut dia, pemilu serentak akan membuat rakyat tidak mencerna siapa
yang akan dipilih. Secara politis, kemungkinan akan ada penyeragaman pilihan.
Ketika
bersamaan harus memilih anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan
DPD seperti yang diterapkan saat ini, warna lokal dinilai tenggelam dan
terserap dalam warna nasional. Dalam beberapa kali pemilu legislatif, pilihan
politik menjadi hampir sama. Apabila masyarakat mencerna, sangat mungkin
hasilnya berbeda
Perseorangan
Diperlukan
Pengajar ilmu
politik Universitas Gadjah Mada, Ari Dwipayana, tidak setuju jika gubernur
dipilih oleh DPRD karena praktis tidak ada lagi peluang bagi calon perseorangan
maju. Kalaupun ada calon perseorangan yang lolos berkompetisi, dalam logika
sederhana, amat kecil kemungkinan anggota DPRD yang juga wakil partai akan
memilih kandidat perseorangan.
”Kesimpulannya,
calon perseorangan tidak punya ruang atau peluang politik dalam sistem
pemilihan oleh DPRD,” ujar Ari, Sabtu (4/8).
Seperti
diberitakan, dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah usul
pemerintah, peluang calon perseorangan dalam pemilihan gubernur ditutup. Hal
itu tersirat dengan klausul bahwa gubernur dipilih oleh DPRD provinsi.
Menurut Ari,
kalaupun ada argumen bahwa pilkada langsung berbiaya tinggi, masih ada beberapa
alternatif yang bisa diambil, bukan malah kembali ke sistem pemilihan oleh
DPRD. Alternatif itu, misalnya penurunan ambang batas pencalonan sehingga
memperkecil ”biaya perahu” dari kandidat yang selama ini memunculkan pola
transaksional dalam pembentukan koalisi. Alternatif lain adalah pengaturan
belanja kampanye secara ketat dan penggunaan model pluralitas yang hanya
mencari suara terbanyak satu putaran.
Pakar hukum
tata negara, Andi Irmanputra Sidin, dan peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan
Demokrasi, Veri Junaidi, berpendapat, kehadiran calon perseorangan masih
diperlukan. Keberadaannya penting sebagai ”penyeimbang” pencalonan lewat jalur
partai politik atau gabungan parpol.
Irman
menekankan, kehadiran calon perseorangan merupakan simbol hakiki demokrasi di
mana kepala daerah benar-benar merepresentasikan seluruh kekuatan politik di
dalam ataupun di luar DPRD.
Veri
berpendapat, ruang untuk pencalonan lewat jalur perseorangan mesti dikuatkan.
Kalau hendak menyederhanakan ruang pencalonan, pencalonan lewat jalur parpol
nonparlemen yang semestinya dihilangkan. Parpol yang tak memiliki kursi di DPRD
yang sebenarnya kerap bermasalah. ”Kalau mereka mau mencalonkan diri, biarkan
lewat jalur perseorangan,” ujar Veri
URL : https://sinarpagisptsm.blogspot.com/2012/08/pilkada-serentak-disambut-positif.html