KEBERADAAN sekolah rintisan sekolah berstandar
internasional (RSBI) terus menuai kritik. Banyak kalangan menilai keberadaan
RSBI menciptakan iklim tidak adil dan diskriminatif bagi siswa miskin dalam
mengakses pendidikan.
Koalisi Antikomersialisasi Pendidikan (KAKP) pun
mengajukan permohonan judicial review UU Sisdiknas tentang RSBI ke MK.
Dalam kaitan itu, KAKP mendesak MK mengeluarkan putusan agar kegiatan sekolah
RSBI di seluruh Indonesia dihentikan sampai ada putusan final dan mengikat.
Praktisi pendidikan M Abduh Zen yang juga dosen
Universitas Paramadina menilai keberadaan RSBI hanya akal-akalan pihak sekolah
dan dinas pendidikan untuk mengutip dana dari orangtua dan sumber lain. Di sisi
lain, sekolah rintisan standar nasional (RSN) tidak diperbolehkan.
"Padahal RSBI memperoleh dana bantuan pemerintah
Rp100 juta sampai dengan Rp300 juta per satuan pendidikan," kata Abduh,
kemarin. Menurut Abduh,
ketidakberesan RSBI meningkat tanpa mengindahkan kualitas lagi karena setiap sekolah berlomba mengklaim sebagai RSBI agar dapat memungut uang sebanyak-banyaknya. Jadi, definisi, arah, dan tujuannya tidak jelas lagi sehingga dampak mudaratnya lebih banyak ketimbang manfaatnya.
ketidakberesan RSBI meningkat tanpa mengindahkan kualitas lagi karena setiap sekolah berlomba mengklaim sebagai RSBI agar dapat memungut uang sebanyak-banyaknya. Jadi, definisi, arah, dan tujuannya tidak jelas lagi sehingga dampak mudaratnya lebih banyak ketimbang manfaatnya.
Tunggu MK
Dirjen Pendidikan Menengah Kemendikbud Hamid Muhammad
memaklumi terjadinya pro-kontra di masyarakat tentang RSBI. Namun, ia menilai
implementasi RSBI merupakan amanah konstitusi seperti diamanatkan Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Karena itu, Kemendikbud, tambah
Hamid, telah melakukan moratorium RSBI sembari menunggu keluarnya putusan MK.
Menurut Hamid, sebenarnya persyaratan masuk RSBI sama
dengan sekolah reguler yang mengacu ke Permendikbud tentang Penerimaan Peserta
Didik Baru. Pertama, dengan sistem seleksi menggunakan nilai ujian nasional dan
indikator lain. Kedua, alokasi 20% untuk siswa miskin masih berlaku. Ketiga,
pembiayaan RSBI seharusnya bersumber dari APBD dengan porsi terbesar, APBN, dan
orangtua atau masyarakat.
"Sehingga biaya masuk RSBI tidak boleh diserahkan
kepada mekanisme pasar, tetapi diatur melalui perda atau peraturan lain yang
sejenis. Jadi, seharusnya biaya masuk RSBI terjangkau semua lapisan
masyarakat," tegas Hamid.
Wakil Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Agus
Suradika menyatakan kuota 20% bagi siswa miskin di wilayahnya belum terpenuhi.
Menurut dia, baru sekitar 7%-10% kuota untuk siswa miskin di sekolah RSBI
terpenuhi.
Meskipun mengakui biaya operasional pendidikan (BOP) siswa
RSBI di sekolahnya naik tahun ini, Kepala SMA Negeri 68 Jakarta Pono Fadlullah
menolak anggapan bahwa biaya sekolah RSBI mahal. Menurutnya, banyak pihak salah
kaprah menyamakan RSBI dengan kelas internasional.
Sekjen Malang Corruption Watch (MCW) Jatim Akmal Adi
Cahya menyatakan Pemkot Malang memboroskan anggaran pendidikan termasuk untuk
membiayai sekolah RSBI.
Dengan anggaran pendidikan yang besar, prestasi sekolah RSBI di Malang justru menurun drastis. Prestasi ujian nasional Kota Malang, misalnya, hanya menempati urutan ke-35 dari 38 kabupaten/kota di Jatim. "Biaya pendidikan RSBI di Malang juga sangat mahal sehingga tidak terjangkau keluarga miskin," ujar Akmal, kemarin.
Dengan anggaran pendidikan yang besar, prestasi sekolah RSBI di Malang justru menurun drastis. Prestasi ujian nasional Kota Malang, misalnya, hanya menempati urutan ke-35 dari 38 kabupaten/kota di Jatim. "Biaya pendidikan RSBI di Malang juga sangat mahal sehingga tidak terjangkau keluarga miskin," ujar Akmal, kemarin.
Namun, Kepala Bidang Pendidikan Menengah dan Kejuruan
Dinas Pendidikan Surabaya Rudi Winarko menyatakan biaya untuk masuk sekolah
RSBI di Surabaya gratis karena biaya operasional dan biaya investasi RSBI
ditanggung sepenuhnya oleh Pemerintah Kota Surabaya. (*/Vni/BN/AB/X-9)
URL : https://sinarpagisptsm.blogspot.com/2012/07/sekolah-rsbi-tidak-boleh-gunakan.html