***********Waspada dan Hati-hati....! terhadap bencana Banjir.......Longsor........Pohon tumbang akibat Angin Kencang..........seta tertib berlalu-lintas...................Banyak Jalan Berlubang...........Sayangi diri anda, dan Keluarga anda***********

01/10/16

DI BALIK BOLAK-BALIKNYA KASUS JESSICA


Jakarta - Bolak-baliknya berkas perkara Jessica Kumala Wongso dalam perkara pembunuhan Wayan Mirna Salihin di antara dua institusi besar yaitu penyidik Polda Metro Jaya dan Jaksa di Kejaksaan Tinggi DKI Jaya merupakan cermin bahwa penegakan hukum di Indonesia masih terkotak-kotak dan tidak terintegrasi dengan baik.

Sebenarnya ada beberapa hal yang kiranya dapat melihat secara terang benderang kejadian tersebut dalam ranah hukum yang sebenarnya. Lewat tulisan ini, saya akan merincinya lebih seksama.

Bila dilihat dari sisi penyidik, ada yang berpandangan bahwa penyidikan hanya terbatas sebagai suatu rangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu bisa membuat terang benderang tentang tindak pidana yang terjadi dan berguna dalam menemukan tersangkanya (lihat: Pasal 1 angka 2 KUHAP).

Berdasarkan pasal Pasal 1 angka 2 KUHAP, dapat terlihat bahwa penyidik tidak diharuskan untuk memenuhi 2 (dua) alat bukti dan kewajiban pembuktian itu sebenarnya "terserah" dalam pemeriksaannya di pengadilan nanti.

Sejalan dengan Pasal 1 angka 2 KUHAP tersebut, Penuntut Umum (PU) memang tidak dilibatkan sejak awal dalam penyidikan dan penyidik hanya memberitahukan hal yang biasa yakni penyidik mulai melakukan penyidikan saja. (Pasal 109 ayat (1) KUHAP). Setelah itu, Penuntut Umum baru mengetahui dan mempelajari perkara tersebut setelah penyidik selesai melakukan penyidikan dan berkas perkara kemudian dilimpahkan ke PU. (lihat: Pasal 110 ayat (1) KUHAP).

Terkait dengan berkas perkara itu, selanjutnya Penuntut Umum hanya diberikan kewenangan untuk meneliti berkas perkara yang disampaikan penyidik selama 14 hari dan tidak mengetahui secara riil kebenaran fakta yang ada dalam berkas itu. (lihat: Pasal 110 ayat (2) & (4) KUHAP)

Di sisi lain, Penuntut Umum memiliki kewenangan untuk menentukan suatu berkas perkara itu apakah sudah memenuhi persyaratan dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan (lihat: Pasal 139 KUHAP). Dan persyaratan yang diperlukan itu adalah adanya minimal dua alat bukti.

Mengapa diperlukan minimal dua alat bukti? Karena majelis hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa apabila tidak memiliki dua alat bukti yang sah, meski harus ada juga unsur keyakinan hakim bahwa suatu tindak pidana itu benar telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah karena telah melakukannya. (lihat: Pasal 183 KUHAP).

Setelah melihat pengaturan dalam beberapa pasal di atas, maka terlihatlah proses integrasi kerja atau interaksi antara penyidik dan PU ternyata hanya terbatas pada proses berkas perkara yang dipelajari oleh PU selama empat belas hari. Padahal PU harus dapat meyakinkan majelis hakim bahwa tindak pidana telah terjadi dan terdakwa adalah pelakunya dengan menyajikan minimal dua alat bukti itu.

Namun, melihat interaksi kerja antara Penyidik dan PU yang terbatas di atas, maka tidaklah mengherankan apabila kasus pembunuhan Mirna Salihin seperti agenda bolak-balik perkara, ini mirip dengan sistem kerja dalam mesin fotocopy. Karena tingkat keyakinan Penyidik terhadap pelaku pembunuhan (Jessica) berbeda dengan tingkat keyakinan PU.

Penyidik merasa yakin karena Penyidik langsung memeriksa Jessica dengan melihat ekspresinya yang disertai alat bukti yang menurut Penyidik bisa mendukung. Namun di sisi lain, PU hanya melihat berkas perkara tanpa mengetahui (mungkin tidak ada) secara riil kebenaran yang terjadi. Hal itu merupakan suatu kewajaran apabila PU belum memiliki keyakinan yang sama dengan penyidik, oleh karena cara kerja penyidik dan PU belum terintegrasi sejak awal.


Nah, konsekuensinya bisa berbahaya apabila suatu kasus dipaksakan oleh PU untuk dimajukan dengan pertimbangan menjaga hubungan baik dengan penyidik, maka tindakan kriminalisasi dapat terjadi. Dan bila perkaranya nanti tidak terbukti di pengadilan, misalnya kesaksian yang dibuat dalam BAP ternyata palsu atau tidak diakui oleh saksi, itu dapat menyebabkan konstruksi juridis suatu perkara akan berubah.

Seharusnya praktek integrasi menyelesaikan suatu masalah terjadi dalam kasus Jessica tersebut. Seperti penanganan perkara yang sudah pernah terjadi di Indonesia. Yakni dalam satuan Timtas Tipikor yang pernah dibentuk Presiden SBY pada 2005-2007. Di mana dalam Tim tersebut kerjasama antara auditor (BPKP), penyidik (Bareskrim) dan PU (Gedung Bundar Kejagung) telah berkoordinasi sejak awal dalam proses penanganan perkara. Hasilnya, penanganan kasusnya hampir 100 persen sukses dan bahkan dapat melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap oknum panitera dan oknum hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) yang berupaya memeras saksi di tahun 2005.

Contoh lain, hubungan terpadu dalam sistem peradilan pidana juga sudah dilaksanakan dalam institusi KPK, sehingga conviction rate dari kasus yang ditanganinya 100 persen berhasil dan bisa dibuktikan di pengadilan. Semua ini karena hasil kerjasama yang baik dalam beberapa kasus tertentu. Tidak sendiri-sendiri dalam menyelesaikan kasus yang akhirnya bisa berlarut-larut.


Dan bolak-baliknya serta ketidakjelasannya dalam penanganan perkara pidana itu sebenarnya akan berimbas pada masyarakat dalam melakukan pencarian keadilan. Sehingga terkesan adanya kriminalisasi dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.

Menurut penulis, dalam penanganan kasus Jessica, PU telah melakukan sesuai dengan kewenangannya dan tetap harus meyakini suatu perkara yang dilimpahkan harus terdapat minimal dua alat bukti dan Penyidik suka tidak suka atau mau tidak mau harus memberi keyakinan kepada PU tersebut. Karena apabila PU sudah yakin, maka tugas PU yang kemudian memberi keyakinan kepada hakim dengan bermodalkan minimal 2 alat bukti.

Berkaitan dengan kasus di atas, Blackstone (1753-1765) pernah mengatakan bahwa: "the law holds that it is better that ten guilty persons escape than that one innocent suffer". Pendapat tersebut muncul pada masa itu, karena selalu ada kemungkinan dalam suatu penegakan hukum yang dapat saja mengandung kekeliruan, baik karena orangnya maupun perbuatannya. Walaupun dalam hal ini, Jessica belum tentu ia tidak bersalah, namun untuk menghindari berlarutnya kasus ini, sebaiknya penahanan tersangka ditangguhkan lebih dahulu dan proses pencarian dua alat bukti tetap dilanjutkan.

Menanggapi semua itu, maka untuk proses penegakan hukum yang lebih baik, maka sudah waktunya KUHAP yang dianggap beberapa orang masih sebagai karya agung, bisa kemudian diamandemen atau diganti dengan KUHAP yang baru sehingga sistem penegakan hukum menjadi terpadu dan tidak terkotak-kotak. Dengan keterpaduan itu, diharapkan tidak ada bolak balik perkara lagi dalam suatu kasus hukum. Dengan begitu penegak hukum bisa mendapatkan kepercayaan dari masyarakat dan semuanya bisa menghormati hak asasi manusia.

*)Dr Reda Manthovani SH LLM
Anggota Bidang Organisasi Profesi Dalam dan Luar Negeri PJI Pusat
(asp/asp)
Sumber Gambar : http://cdn-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/jessica-wongso_20160127_190334.jpg
Sumber Berita : detik.com

URL : https://sinarpagisptsm.blogspot.com/2016/10/di-balik-bolak-baliknya-kasus-jessica.html
#running news { position:fixed;_position:absolute;top:0px; center:0px; clip:inherit; _top:expression(document.documentElement.scrollTop+ document.documentElement.clientHeight-this.clientHeight); _left:expression(document.documentElement.scrollLeft+ document.documentElement.clientWidth - offsetWidth); }