Indonesia
memiliki waktu tiga tahun lagi untuk mengejar target Tujuan Pembangunan
Milenium (MDG’s) 2015. Capaian di bidang air minum dan sanitasi masih
tertinggal dibandingkan bidang lainnya karena masih rendahnya komitmen
pemerintah daerah. Porsi penganggaran untuk dua bidang Cipta Karya tersebut
selama ini masih didominasi APBN. Karena itu perlu Surat Edaran Bersama yang
dikeluarkan Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas), dan Menteri Dalam Negeri.
Demikian
salah satu kesimpulan Workshop Percepatan Pencapaian Target Millennium
Development Goals (MDGs) yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Cipta Karya
Kementerian Pekerjaan Umum (PU) di Jakarta (19/6). Acara ini dipandu Staf Ahli
Menteri PU bidang Ekonomi dan Investasi Setiabudi Algamar dan menghadirkan
narasumber antara lain Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs Nila Djoewita F.
Moeleok, Direktur Perumahan dan Permukiman Bappenas Nugroho Tri Utomo, Direktur
Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas Arum Atmawikarta, dan Direktur Statistik
Kesejahteraan Rakyat Badan Pusat Statistik (BPS) Hamonangan Ritonga.
Dalam sesi
diskusi, Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian PU Budi Yuwono mengatakan,
tiap level pemerintahan bertanggung jawab atas penyediaan air minum dan
sanitasi yang layak. Ada beberapa pemerintah provinsi yang ingin membuktikan
komitmennya, ada yang lolos, ada juga yang terganjal di internal Kementerian
Dalam Negeri karena alasan tertentu.
Pernyataannya
mendukung utusan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat yang berniat menganggarkan
Rp 65 miliar untuk air minum dan sanitasi. Namun dalam konsultasi anggaran
dengan Kementerian Dalam Negeri tidak diizinkan atas dasar otonomi daerah.
Nugroho Tri
Utomo menambahkan, struktur pembiayaan APBN tiap tahunnya meningkat, khususnya
Kementerian PU. Ia mencontohkan bidang sanitasi yang tiap tahun harus mencapai
rata-rata 5 persen dalam mengejar MDG’s. Dengan pembiayaan APBN hanya mampu
mengcover 1 persen, artinya APBD dan sumber lainnya harus mengcover 4 persen
sisanya. Namun rata-rata penganggaran APBD untuk sanitasi masih di kisaran 2
persen.
“Air minum
dan sanitasi bukan masalah pendanaan karena sumber-sumber pendanaan pasti ada.
Yang penting kuncinya komitmen dan kemauan daerah,” ujar Nugroho.
Capaian MDGs
Dalam
laporan BPS, angka capaian air minum layak di Indonesia, baik di perkotaan dan
perdesaan, 2010 menurun menjadi 44,19 persen dibandingkan tahun 2009 di angka
47,71 persen. Sedangkan capaian bidang sanitasi meningkat menjadi 55,54 persen
di 2010 dibandingkan capaian tahun 2009 51,19 persen. Penurunan capaian air
minum dikarenakan BPS memakai indikator lama dan Susenas yang dilakukan masih
belum menampung berbagai masukan dari Ditjen Cipta Karya.
Hamonangan
menjelaskan, indokator air minum layak yang dipakainya memiliki definisi
bersumber dari leding, air terlindungi, dan air huja. Sementara rumah tangga
yang memakai air kemasan, baik yang bermerk maupun isi ulang disebutnya tidak
masuk kategori memiliki akses air minum layak.
“Gejala
naiknya pemakaian air minum kemasan adalah life style masyarakat. Tahun pada
2009, pemakaian air kemasan di perkotaan dan perdesaan 13,5 persen, tapi naik
menjadi 19 persen di tahun 2010,” jelas Hamonangan.
Menyikapi
angka tersebut, Budi Yuwono berharap dalam laporan BPS nantinya dicantumkan
keterangan teknis alasan turunnya. Turunnya angka tersebut pasti ada sesuatu
yang terjadi. “Data dan angka air minum dan sanitasi adalah wajah Indonesia,
bukan data milik instansi tertentu,” pungkas Budi. (bcr)
URL : https://sinarpagisptsm.blogspot.com/2012/06/percepatan-target-mdgs-perlu-se-bersama.html