***********Waspada dan Hati-hati....! terhadap bencana Banjir.......Longsor........Pohon tumbang akibat Angin Kencang..........seta tertib berlalu-lintas...................Banyak Jalan Berlubang...........Sayangi diri anda, dan Keluarga anda***********

11/03/12

Pembodohan di Balik Kenaikan Harga BBM

Saturday, 10 March 2012 11:34

Harga minyak dunia yang menyentuh level USD 110 per barel, level tertinggi sepanjang sejarah, menghempas kemapanan pereknomian dunia, tak terkecuali Indonesia. Maka, tak pelak, Pemerintah RI kembali disibukkan dengan urusan krisis bahan bakar minyak (BBM).
Program 'pembatasan BBM' dan konversi BBM ke gas untuk mengurangi subsidi negara yang sedianya bakal digulirkan April nanti pun terancam gagal.Opsi yang belakangan semakin menguat adalah kenaikan harga BBM. Tujuan semua opsi tersebut satu, yakni mengurangi subsidi BBM yang terus menggerus kas negara.
Bayangkan, saat meluncurkan APBN 2012, asumsi harga BBM hanya USD 90 per barel. Dengan lonjakan harga BBM dunia hingga USD 110 per barel, maka dipastikan negara tekor puluhan trilyun rupiah. Konsekuensinya, UU APBN 2012 harus diubah karena tidak sesuai lagi dengan target harga Indonesia crude price (ICP).
Sumber masalah paling mendasar adalah 'kebodohan' pemerintah dan Badan Anggaran DPR dalam rapat paripurna DPR, yang menyepakati hal sensitif dengan asumsi yang salah. Kegagalan menetapkan target dan asumsi APBN lantaran kelemahan pemerintah dan DPR dalam membaca dinamika ekonomi politik internasional, khususnya ekonomi politik Timur Tengah.
Kegagalan itu berimbas pada kegagalan implementasi. Buntutnya, rakyat yang menanggung kerugian. Prediksi kenaikan harga komoditas hajat hidup orang banyak yang dipicu oleh kenaikan BBM kali ini, menurut versi pemerintah, disebabkan oleh kenaikan harga minyak internasional dan 'subsidi salah sasaran' bersamaan dengan penurunan produksi minyak mentah nasional.
Bisa jadi, lebih rendahnya penetapan harga minyak itu merupakan modus operandi guna mendapatkan pembenaran subsidi yang membengkak. Dengan menggunakan alasan subsidi membengkak yang sebagian besar dinikmati orang kaya, subsidi pada harga barang patut diubah. Yakni menaikkan harga BBM, sehingga sesuai dengan hukum penawaran permintaan (mekanisme pasar bebas). Meskipun langkah tersebut melabrak UU APBN 2012 Pasal 7 ayat (6), bahwa pemerintah menetapkan tidak menaikkan harga BBM.
Tadinya, masyarakat pemilik mobil akan 'dipaksa' menggunakan gas yang harga converter kitnya mencapai Rp 9-15 juta per unit, dan itu harus diimpor. Sementara SPBG-nya harus disiapkan. Karena converter kit yang mahal dan SPBG tidak siap, pemerintah kemudian beralih gagas menjadi menaikkan harga BBM.
Sebelumnya, konsep 'pembatasan BBM bersubsidi' yang diwacanakan sejak 2 tahun lalu, hendak diimplementasikan pada April mendatang. Dalam kebijakan tersebut, hanya kendaraan roda dua dan kendaraan umum (plat kuning) yang diperbolehkan menggunakan BBM bersubsidi (premium) dan sisanya wajib menggunakan pertamax. Bisa dibayangkan semrawutnya pelaksanaan program tersebut, karena pemerintah hingga saat ini belum menyiapkan infrastruknya.
Belum lagi imbas secara politik perdagangan yang bakal menguntungkan pihak asing. Sebab, permintaan akan BBM non-subsidi akan meningkat drastis. Seperti kita ketahui, Di sektor hilir, sebagian besar pemain minyak dunia sudah membuka outlet, meski saat ini belum diperbolehkan menjual BBM bersubsidi.
Data BP-Migas mengungkap, dari lima perusahaan migas terbesar di Indonesia, empat diantaranya adalah milik asing. Rangking pertama produksi dipegang oleh PT Chevron Pacific Indonesia (Amerika Serikat), diikuti PT Pertamina milik Indonesia, PT Total Indonesia E&P (Prancis), PT CoconoPhilips (Amerika Serikat), dan perusahaan asal China, CNOOC, SES. Tentu semua 'pemain dunia' dunia itu bakal tergiur untuk main di sektor hilir, mengingat keuntungan yang berlipat ganda.
Nah, dengan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi, maka pemilik mobil pribadi akan berduyun-duyun ke SPBU milik perusahaan asing yang bakal 'mengepung' SPBU Pertamina, karena sudah tertancap opini bahwa BBM asing kualitasnya lebih bagus. Jadi, sudah jelas sapa yang diuntungkan.
Belakangan, angin pun berubah. Opsi kenaikan BBM yang kian menguat, bakal membuat persaingan pasar BBM menjadi lebih sengit. Dan para pemodal gede dari luar negeri tetap diprediksi akan mendominasi sektor hilir.
Lebih tak logis logis lagi jika merujuk pada Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, yang menetapkan cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dan kekayaan alam digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sementara pemerintah sudah terikat pada program reformasi sektor energi yang dijanjikan kepada IMF melalui Letter of Intend, kepada USAID, Bank Dunia, dan ADB melalui Loan Agreement.
Sekjen OECD Angel Guria pada 1 November 2010 saat menjumpai petinggi Indonesia menyatakan, sudah saatnya Indonesia memenuhi komitmen dan meninggalkan mekanisme subsidi yang tidak efisien, terutama subsidi energi. "Indonesia harus lebih fokus pada program untuk memenuhi target pertumbuhan ekonomi jangka menengah sekaligus mengurangi kemiskinan," begitu dikte Guria. Ia bahkan menegaskan dengan pertumbuhan ekonomi ketiga tertinggi pada G-20, Indonesia layak memenuhi komitmennya untuk mencabut subsidi BBM.
Soal subsidi BBM, akan lebih menarik jika dikaitkan dengan besaran dana yang dikeluarkan pemerintah dalam membayar utang. Pada 2009 Indonesia membayar utang Rp161,83 triliun, lalu Rp142,5 triliun (2010), serta Rp154,4 triliun (2011). Sementara pada 2009 subsidi energi Indonesia Rp94,59 triliun, lalu Rp139,95 triliun (2010), serta Rp195,28 triliun (2011).
Yang perlu dicatat, pembayaran bunga itu karena pemerintah menjual bunga obligasi yang lebih tinggi dibanding BI Rate. Untuk Global Mutual Fund bermata uang USD, obligasi pemerintah bahkan dijual dengan imbal hasil 10,5% untuk tenor lima tahun dan 11,75% untuk tenor 10 tahun. Padahal saat yang sama Fed Rate hanya 0,25%. Bayangkan, siapa sebenarnya yang sedang disubsidi pemerintah melalui penjualan obligasi seperti ini? Mana yang lebih besar, menyubsidi bangsa sendiri melalui harga BBM atau menyubsidi orang-orang asing yang kaya raya karena imbal hasil obligasi?
Menurut pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy, Indonesia sudah terjebak dengan skenario asing yang terus mendikte bangsa Indonesia."Tanpa sadar, kita telah memilih untuk menyubsidi orang kaya di Washington dan domestik melalui imbal hasil obligasi yang tinggi, ketimbang menyubsidi bangsa sendiri melalui harga BBM," ujarnya.
Noorsy menilai, jelas lebih tinggi membayar bunga dan cicilan utang ketimbang membiayai subsidi energi dan nonenergi. Jadi, kepada siapa sebenarnya pemerintah berpihak? (HP)
URL : http://sinarpagisptsm.blogspot.com/2012/03/pembodohan-di-balik-kenaikan-harga-bbm.html
#running news { position:fixed;_position:absolute;top:0px; center:0px; clip:inherit; _top:expression(document.documentElement.scrollTop+ document.documentElement.clientHeight-this.clientHeight); _left:expression(document.documentElement.scrollLeft+ document.documentElement.clientWidth - offsetWidth); }