***********Waspada dan Hati-hati....! terhadap bencana Banjir.......Longsor........Pohon tumbang akibat Angin Kencang..........seta tertib berlalu-lintas...................Banyak Jalan Berlubang...........Sayangi diri anda, dan Keluarga anda***********

21/03/12

Kontroversi Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI)



Kontroversi terhadap eksistensi rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) masih terus berlanjut. Sidang lanjutan permohonan uji materi terhadap Pasal 50 Ayat 3 UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) digelar pada hari Selasa (6/3/2012), dengan menghadirkan Dirjen Pendidikan Dasar Suyanto yang mewakili pihak pemerintah.
Dalam keterangannya, Suyanto menyatakan bahwa tak ada diskriminasi dalam pelaksanaan RSBI. Sekolah itu memang khususnya bagi siswa dengan kemampuan di atas rata-rata nasional. Selain itu, kata dia, RSBI juga diselenggarakan untuk mencetak lulusan-lulusan yang melampaui standar nasional pendidikan.
Menanggapi keterangan pihak pemerintah, pengamat pendidikan yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Anti Liberalisasi Pendidikan, Lody Paat, menilai, konsep RSBI membingungkan. Menurutnya, penyelenggaraan RSBI tidak sesuai dengan aturan yang menjadi acuan.
Dengan tegas, Lody menolak alasan pemerintah menggunakan negara OECD (forum 34 negara kaya di zona Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang) sebagai acuan penyelenggaraan RSBI. Baginya, hal itu hanya mengacaukan standar pendidikan nasional.
"Kita itu berbeda, enggak bisa mengacu pada OECD," kata Lody, seusai menghadiri sidang judicial review Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (6/3/2012).
Selain itu, akses RSBI juga dinilainya tidak berkeadilan karena cenderung "dihuni" siswa yang berasal dari kelas ekonomi menengah atas. Aturan minimal 20 persen untuk siswa miskin belum dipenuhi oleh banyak sekolah.
"Kenapa memfasilitasi orang yang secara kemampuan sudah mampu, mengkhususkan (kepada) yang punya uang? Konsep mereka membingungkan" kata Lody.
Penyelenggaraan RSBI dinilai memicu kastanisasi dan dualisme pendidikan.
Sementara itu, aktivis ICW yang juga tergabung dalam Koalisi Masyarakat Anti Liberalisasi Pendidikan, Febri Hendri, menuding bahwa pemerintah telah melakukan liberalisasi pendidikan dengan penyelenggaraan RSBI. Alasannya, langkah ini dinilai tidak mengedepankan asas berkeadilan.
Menurutnya, pemerintah ingin membentuk opini masyarakat melalui penyelenggaraan RSBI. Langkah itu, kata Febri, merupakan cermin enggannya pemerintah menyelenggarakan pendidikan gratis, khususnya bagi masyarakat miskin.
"Berusaha membangun opini kalau pendidikan bermutu itu harus mahal," kata Febri.
Menurutnya, itu terjadi karena pemerintah terlalu khawatir anggaran pendidikan dapat sangat membebani APBN dan berimbas pada sulitnya negara dalam melunasi utang luar negeri.
Tuntutan yang diajukan adalah penghapusan pasal yang menyebutkan mengenai penyelenggaraan RSBI. Sidang uji materi masih terus bergulir. Pada dua pekan mendatang, agenda sidang akan mendengarkan keterangan saksi ahli dan pihak pemohon.
Dilain hal, Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dinilai tidak menghasilkan apa-apa kecuali biaya yang lebih mahal dan kesenjangan antar peserta didik. Jika alasannya untuk meningkatkan mutu pendidikan, RSBI justru tidak mencerminkan hal itu. Lantaran, sekolah reguler unggulan tetap akan menjadi unggulan tanpa harus berganti label menjadi RSBI.
Guru SMAN 13 Jakarta, Retno Listyarti mengatakan, dirinya tidak menemukan hasil yang terlalu istimewa pada setiap lulusan sekolahnya. Baginya, hasil yang baik bukan ditentukan pada status RSBI, melainkan semua tergantung pada individu siswa yang bersangkutan.
"Ada beberapa siswa yang melanjutkan studi ke Jerman, tapi saya rasa itu bukan karena RSBI-nya, melainkan karena mereka mampu. Dari jaman saya sekolah juga banyak yang lanjut ke luar negeri," kata Retno, seusai menjadi saksi dalam sidang judicial review UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (20/3/2012).
Ia melanjutkan, hal lain yang mencolok dalam RSBI adalah mengenai biaya. Dari tahun ke tahun tren kenaikan biaya di RSBI selalu meningkat. Dijelaskannya, di era dirinya menjadi siswi SMAN 13, biaya perbulan hanya Rp 5 ribu. Kemudian menjadi Rp 150 ribu pada tahun 2000, dan melonjak ke angka Rp 600 ribu per bulan pada tahun ini.
"Biaya naik tentu wajar, tapi menurut saya naiknya terlalu tinggi, khususnya setelah sekolah ini menjadi RSBI. Mutunya juga biasa saja, sama seperti jaman saya sekolah dulu," ujarnya. Ia menegaskan, tanpa perlu di RSBI-kan, sekolahnya akan tetap unggul. "Siswa pandai itu ibarat mutiara, ditaruh dimana pun warnanya akan tetap cemerlang. Tidak harus di RSBI," pungkasnya.
Ditemui bersamaan, pakar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Soedijarto mengungkapkan hal senada. Baginya, kurikulum dalam RSBI tidak membawa pengaruh banyak pada peningkatan mutu. Karena pada dasarnya setiap siswa cerdas dapat berkembang di sekolah apapun, dengan catatan ada perhatian khusus khususnya dari pemerintah, dan bukan sekadar memaksakan semua siswa cerdas ke RSBI."Saya pikir itu hanya soal kemauan, RSBI tidak menjamin apapun, kecuali jurang antara si miskin dan si kaya," pungkasnya.
Tak heran bila muncul berbagai tudingan terhadap Kebijakan pemerintah tentang rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) sebagai kebijakan diskriminatif. Sekolah unggulan yang diwujdukan menjadi RSBI membuat sekolah berkualitas baik menjadi mahal sehingga akses terbatas pada kelompok siswa mampu.
Bagus Takwin, psikolog sosial dari Universitas Indonesia di Jakarta, Rabu (21/3/2012), mengatakan, layanan pendidikan seperti diwujudkan dalam RSBI merupakan praktik yang mengkotak-kotakkan masyarakat lewat pendidikan. Hal ini bisa membuat generasi muda bangsa semakin kuat dengan anggapan bahwa untuk mendapatkan yang diinginkan dalam hidup cukup dengan uang.
Di tengah kondisi akses pendidikan dan kesetaraan yang masih bermasalah di dalam negeri, pemerintah justru melegalkan praktik sekolah publik yang berkualitas baik menjadi eksklusif. Pendidikan bermutu yang harusnya menjadi hak setiap anak bangsa harus dibayar dengan biaya yang semakin mahal.
Menurut Bagus, sekolah unggulan yang sekarang diwujdukan sekolah RSBI memang diburu banyak orang tua. Meskipun sekolah jauh dari tempat tinggal, sekolah RSBI tidak kehilangan peminat.
Padahal, harusnya pemerintah mengembangkan sekolah-sekolah yang berkualitas di mana-mana. "Jika sekolah baik tersebar merata, anak-anak bisa bersekolah tidak jauh dari tempat tinggal. Ini juga bisa menciptakan interaksi orang tua dan guru yang baik dan kuat," kata Bagus.
Sekarang, ujar Bagus, pendidikan itu jadi beban buat semua orang. Bukan hanya beban secara ekonomi dengan biaya pendidikan yang mahal, juga biaya transportasi, karena sekolah bagus yang jauh dari rumah.
Anak-anak juga menjadi lelah karena jarak tempuh sekolah yang jauh, waktu yang semakin sedikit sehingga bisa memengaruhi hubungan orang tua dan anak, hingga minimnya keterlibatan orang tua di sekolah.
"Ini menunjukkan Indonesia tidak punya tujuan pendidikan yang jelas. Konsep manusia yang mau dihasilkan tidak jelas. Semestinya kita bisa mencontoh Jepang yang tidak minder dengan apa yang dipunyainya, namun tetap mampu menjadi negara maju," kata Bagus.
Retno Listiyarti, guru RSBI SMAN 13 Jakarta, mengatakan, kebijakan RSBI bukan hanya mendiskriminasi antara sekolah reguler dan sekolah RSBI. Di dalam sekolah RSBI sendiri tetap ada diskriminasi layanan dan fasilitas pendidikan untuk anak-anak yang sanggup membayar biaya tinggi.
Menurut Retno, di sekolahnya ada kelas RSBI dan kelas internasional. Layanan dan fasilitas pendidikan berbeda meskipun berada dalam satu sekolah. Siswa kelas RSBI membayar uang sekolah sekitar Rp 600.000 per bulan dan uang masuk Rp 7 juta.
Adapun siswa kelas internasional membayar biaya pendidikan Rp 31 juta per tahun per siswa. Praktik ada uang ada kualitas, sungguh dirasakan siswa. "Layanan dan fasilitas istimewa diberikan untuk anak di kelas internasional yang biaya pendidikannya lebih mahal," kata Retno.
NetKom
URL : http://sinarpagisptsm.blogspot.com/2012/03/kontroversi-rintisan-sekolah-bertaraf.html
#running news { position:fixed;_position:absolute;top:0px; center:0px; clip:inherit; _top:expression(document.documentElement.scrollTop+ document.documentElement.clientHeight-this.clientHeight); _left:expression(document.documentElement.scrollLeft+ document.documentElement.clientWidth - offsetWidth); }