***********Waspada dan Hati-hati....! terhadap bencana Banjir.......Longsor........Pohon tumbang akibat Angin Kencang..........seta tertib berlalu-lintas...................Banyak Jalan Berlubang...........Sayangi diri anda, dan Keluarga anda***********

17/08/11

Refleksi 66 Tahun Kemerdekaan RI Bertepatan Dengan Nuzulul Qur’an


17 Agustus tahun 1945. Tahun yang bersejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia. Tahun yang tak akan pernah terlupakan dalam benak seluruh bangsa. Saat itu bangsa di bawah komando Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muh. Hatta memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia telah menjadi negara yang berdaulat, memegang dan mengatur negera sendiri. Merdeka dari cengkraman kekuasaan penjajah yang telah menjajah selama ratusan tahun lamanya. Proklamasi kemerdekaan juga sebagai bentuk pengakuan kepada dunia bahwa segala bentuk penjajahan tidak sesuai dengan hak asasi manusia sehingga harus dihapuskan dari permukaaan bumi. Ratusan tahun Indonesia dijajah. Telah mengalami banyak penderitaan. Telah bosan dengan berbagai kesengsaraan karena tindasan para penjajah.
Peringatan Ke-66 Hari Kemerdekaan RI kali ini bertepatan dengan Ramadan. Bahkan, 17 Agustus 2011 bertepatan dengan 17 Ramadan 1432 H, tanggal yang diyakini sebagai permulaan turunnya Kitab Suci Alquran. Dengan dua peringatan penting itu. kita ingin mengajak seluruh warga kembali pada optimisme berbangsa yang didasari semangat spriritual. Kita meyakini, dua hal itulah yang bisa menjadi modal utama kita untuk keluar dari situasi keterpurukan multidimensi.
Tidak ada salahnya, menjelang peringatan 66 Tahun Proklamasi, kita memaknai kembali arti kemerdekaan. Memaknai di sini bukan berarti sekadar membeberkan hal-hal simbolik tentang kemerdekaan. Lebih dari itu, kita berharap dapat menemukan suatu rumusan moral imperatif yang sejalan dengan situasi bangsa saat ini, dan menjadi pendorong yang menginspirasi seluruh warga untuk bergerak menjadi bangsa yang benar-benar merdeka. Hal itu penting, karena bagi sebagian besar generasi muda, makna kemerdekaan boleh jadi hanya samar-samar.
Cobalah kita cermati pembahasan di kalangan generasi yang lahir setelah tahun 1970-an tentang acara tirakatan yang sudah menjadi tradisi pada setiap malam 17 Agustus. Kebanyakan akan bersikap acuh, dan sebagian lagi mungkin lebih tertarik pada kemeriahan organ tunggal campursari atau dangdut. Bagi sebagian besar generasi tersebut, peringatan semacam itu bukan berarti sebuah selebrasi yang punya nilai mendalam. Perayaan kemerdekaan menjadi tidak jauh dari sekadar hura-hura hajatan.
Meskipun telah merdeka selama 66 tahun, Indonesia masih jauh dari cita-cita yang telah digariskan oleh pendiri bangsa. Mayoritas rakyat Indonesia masih belum menikmati kemerdekaan yang hakiki karena terbelenggu ”penjajah” berupa kemiskinan, ketidakadilan, dan korupsi. Di bidang ekonomi dan perdagangan misalnya, rakyat Indonesia kini hanya dijadikan pasar bagi produk-produk asing. Parahnya lagi, serbuan produk asing bukan hanya berasal dari sektor manufaktur, tetapi juga hampir semua sektor, termasuk pertanian.
Dapat dikatakan, bangsa dan negara Indonesia kini berada pada titik terendah. Hal itu dibuktikan dengan tidak adanya kekuatan yang bisa menyejahterakan rakyat. Dulu, bangsa ini menjadi lemah, tetapi sebaliknya negara menjadi terlalu kuat. Sekarang, bangsa Indonesia menjadi lemah sementara negara juga lemah. Belum lagi, pemerintah dan legislatif juga tidak serius menyelesaikan aneka keruwetan persoalan bangsa. Negara tidak mengambil langkah-langkah yang semestinya untuk menyelesaikan persoalan, yang sesuai dengan harapan rakyat.
66 tahun bangsa ini telah merdeka. Apa kita benar-benar telah merdeka? Apa yang telah kita lakukan untuk negeri ini setelah kita lepas dari belitan belenggu penjajahan? Kalau kita menoleh ke belakang ke masa Nabi Muhammad sebagai ibarat. Dalam suatu perang melawan orang kafir. Perang badar adalah perang yang sangat besar dan luar biasa dahsyat. Banyak para sahabat nabi yang gugur sebagai syahid. Bahkan paman Nabi Sayyidina Hamzah yang paling dibanggakan Nabi gugur juga sebagai syahid. Yang paling mengenaskan adalah Sang yahid dibelah dadanya oleh seorang wanita bernama Hindun kemudian hati hamzah dimakan. Nabi sempat menitikkan air mata menahan haru. Tapi apa kata nabi, “kita telah menghadapi perang kecil dan akan menuju perang yang lebih besar”. Para sahabat heran dan bertanya, “wahai Rosulullah, gerangan perang apakah yang lebih besar dari perang yang telah kita hadapi ini”. Nabi dengan tersenyum bersabda, “perang melawan Hawa Nafsu adalah perang terbesar yang harus kalian hadapi”.
Kemerdekaan telah diproklamirkan. Dunia sudah tahu bahwa bangsa Indonesia telah menjadi bangsa berdaulat, menjadi bangsa yang Merdeka, bebas lepas dari penjajah. Tapi apakah kita telah merdeka dengan kemerdekaan yang sesungguhnya? Kalau kita berkaca kepada pristiwa Nabi dan Sahabatnya tadi, bahwa kita lepas dan merdeka dari bentuk penjajahan yang kecil dan pasti akan menghadapi bentuk penjajahan yang lebih besar. Yaitu penjajahan oleh hawa nafsu. Penjahan oleh hawa nafsu yang ada di dalam diri kita adalah bentuk penjajah yang jauh lebih berat. Diperlukan kekuatan batin untuk melawannya. Hawa nafsu adalah keinginan hewani manusia. Ingin harta, ingin wanita, ingin kendaraan, ingin hiburan, ingin tahta dan kekuasaan dan bentuk-bentuk ingin yang lain. Semua adalah hawa nafsu yang wajib kita kendalikan. Jangan sampai dibiarkan membelenggu kita sebagai bangsa Indonesia. Masih banyak kita temukan di antara kita masih menghalalkan segala bentuk cara untuk untuk mendapatkan dan memenuhi keinginan keinginan-keinginan tersebut. Adanya korupsi, sogok menyogok, bentuk-bentuk kejahatan, dan lain-lain menunjukkan bahwa kemerdekaan yang sesungguhnya belum kita dapatkan. Kemerdekaan yang sesungguhnya adalah kebebasan dari belenggu penjajahan hawa nafsu dalam diri kita. Nafsu wajib kita kendalikan. Bukan kita yang dikendalikan hawa nafsu.
Semoga kita bangsa Indonesia semakin bisa memaknai kemerdekaan ini dengan kemerdekaan yang sesungguhnya. Sehingga bisa bebas lepas seperti burung yang terbang dari belenggu penjajahan hawa nafsu. Momentum Ramadhan jika dikaitkan dengan peringatan kemerdekaan sungguh sangat tepat. Suasana ramadhan, di mana Ummat Islam di seluruh dunia melaksanakannya, mengekang dan menahan tidak hanya dari rasa lapar, juga menahan hawa nafsu berbuat hal-hal yang tidak baik. Terbebas dari belenggu hawa nafsu adalah misi dari pelaksanaan puasa itu sendiri. Insya Allah bangsa ini akan semakin jaya dan besar. Jadi kemerdekaan tidak hanya diperingat dengan upacara semata. Tapi juga dijadikan bahan perenunggan untuk melangkah dan menatap masa depan yang lebik lagi. Semoga tercapai.  
URL : http://sinarpagisptsm.blogspot.com/2011/08/refleksi-66-tahun-kemerdekaan-ri.html
#running news { position:fixed;_position:absolute;top:0px; center:0px; clip:inherit; _top:expression(document.documentElement.scrollTop+ document.documentElement.clientHeight-this.clientHeight); _left:expression(document.documentElement.scrollLeft+ document.documentElement.clientWidth - offsetWidth); }