Jakarta (PPCI).
Keberadaan aturan mengenai
syarat menjadi guru harus melewati Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang termaktub
dalam Pasal 9 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dipersoalkan tujuh
orang mahasiswa dari universitas berlatar belakang kependidikan. Yakni Aris
Winarto, Achmad Hawanto, Heryono, Mulyadi, Angga Damayanto, M. Khoirur Rosyid,
dan Siswanto.
Mereka menilai telah menimbulkan ketidakadilan bagi sarjana lulusan universitas berlatar pendidikan untuk dapat berprofesi sebagai guru. Sebab, aturan itu membolehkan sarjana nonkependidikan untuk diangkat menjadi guru.
Mereka menilai telah menimbulkan ketidakadilan bagi sarjana lulusan universitas berlatar pendidikan untuk dapat berprofesi sebagai guru. Sebab, aturan itu membolehkan sarjana nonkependidikan untuk diangkat menjadi guru.
Selengkapnya, Pasal 9 berbunyi, “Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat.”
Sholeh menegaskan guru merupakan profesi yang harus ditempuh melalui jalur akademik khusus, yaitu kependidikan. Sehingga, apabila pasal itu tetap diterapkan, maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para sarjana lulusan kependidikan.
“Ketika sarjana nonkependidikan boleh menjadi guru, bukan hanya persoalan mata pencaharian para sarjana kependidikan terancam, melainkan persaingannya menjadi tidak adil. Hal itu jelas menimbulkan ketidakpastian hukum,” kata Sholeh.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU No 14 tahun 2005 jelas sekali disebutkan jika profesi Guru dan Dosen adalah merupakan bidang pekerjaan khusus. Karenanya, sudah dapat dipastikan jika syarat untuk bisa menjadi seorang Guru adalah mutlak dibutuhkan keahlian khusus, dimana keahlian khusus ini tidak mungkin didapatkan di perkuliahan Non LPTK (lembaga pendidikan tenaga kependidikan).
“Sejak awal masuk di LPTK, memang Para Pemohon berkeinginan menjadi guru. Sementara Para Pemohon tidak mau masuk perguruan tinggi non LPTK karena tidak ada aturan maupun janji-janji dari perguruan tinggi non LPTK bisa mencetak mahasiswa menjadi guru,” tandasnya.
Menurut Sholeh apabila pasal ini dipertahankan keberadaan universitas berlatar kependidikan menjadi sia-sia. “Kenapa tidak dibubarkan saja kampus-kampus kependidikan itu? Baru setelah itu, persaingan untuk menjadi guru akan lebih adil,” terangnya.
Lebih jauh, lanjut Sholeh, para sarjana kependidikan memiliki kelebihan dibanding sarjana non-kependidikan. Kelebihan itu terletak pada faktor psikologis yang mereka dapat selama menjalani proses akademik.
“Bagaimanapun, kampus kependidikan dan non-kependidikan, psikologinya sudah berbeda. Disitu Para Pemohon ditempa berbagai macam mata kuliah seperti pedagogik, kompetensi kepribadian, kompentensi sosial, dan kompetensi profesional. Mata kuliah seperti inilah yang nantinya dianggap para guru untuk meningkatkan kualitas para guru. Mata kuliah seperti ini tidak diajarkan di perguruan tinggi nonkependidikan,” tegasnya.
Mereka meminta MK membatalkan Pasal 9 UU Guru dan Dosen karena dinilai melanggar hak mereka untuk mendapat kemudahan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan sebagaimana dijamin Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. “Mereka ingin pasal ini dibatalkan oleh MK,” tutupnya.
URL : http://sinarpagisptsm.blogspot.com/2012/09/persyaratan-menjadi-cpns-guru-dan-dosen.html