***********Waspada dan Hati-hati....! terhadap bencana Banjir.......Longsor........Pohon tumbang akibat Angin Kencang..........seta tertib berlalu-lintas...................Banyak Jalan Berlubang...........Sayangi diri anda, dan Keluarga anda***********

20/07/12

Aturan Putaran Kedua DKI Jakarta Dipersoalkan


Penerapan terhadap Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang (UU) No.29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan RI dalam menentukan pasangan pemenang atau pasangan terpilih dalam Pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah Khusus Ibukota Jakarta (KPU DKI Jakarta) dinilai tidak sinkron dengan UU lain, salah satunya adalah Pasal 107 ayat (2) UU No. 12/2008 tentang Pemerintah Daerah.

“Para Pemohon sadar UU No. 29/2007 adalah UU Khusus. Tetapi Pasal 11 ayat (2) UU No. 29/2007 sama sekali tidak mengindahkan, dan tidak mengsinkronisasikan dengan UU lain yang berhubungan langsung dengan Pemilukada (Pemilihan Umum Kepada Daerah). Pasal ini cacat, dan menjadikan Pemilukada Ibukota Jakarta tidak efisien,” urai para Pemohon dalam permohonannya, saat sidang pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor 70/PUU-X/2012, di Mahkamah Konstitusi, Jumat (20/7).

Permohonan yang diajukan oleh Abdul Havid Permana, Mohammad Huda, dan Satrio Fauzia Damardjati ini mengujikan atas ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU No.29/2007. Para Pemohon sendiri berstatus sebagai masyarakat biasa di DKI Jakarta, bukan simpatisan ataupun pendukung dari salah satu calon, seperti tertera dalam permohonannya.

UU tersebut, menurut para Pemohon, adalah UU khusus yang mengatur jalannya Pemerintahan Ibukota Jakarta, bukan khusus Pemilukada. “Seharusnya dalam persoalan pemilihan kepala daerah, KPUD Jakarta menggunakan UU No. 12/2008 (bukan Pasal 11 ayat (2) UU No.29/2007), yang jelas-jelas mengatur secara keseluruan tahapan-tahapan Pemilukada,” urai para Pemohon.

Dalam Pasal 11 ayat (1) UU a quo menyebutkan, “Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih”

Kemudian dalam ayat (2) menyebutkan, “Dalam hal tidak ada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diadakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.

Sebagaimana diketahui, dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diubah dengan UU No.12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No.32 Tahun 2004 yang diterapkan secara umum memang menentukan terpilihnya pasangan calon dan pemilu putaran kedua secara berbeda. Dimana UU ini disamping menentukan mayoritas suara lebih dari 50% untuk terpilihnya pasangan calon, juga menentukan apabila tidak memenuhi hal tersebut, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.

Dalam tuntutan atau petitum para Pemohon di persidangan memohonkan kepada Mahkamah supaya pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. “Menyatakan (Pasal a quo) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” jelas kuasa hukum para Pemohon Iwan Prahara dihadapan Majelis Hakim Konstitusi, yang terdiri atas Harjono, Hamdan Zoelva (ketua), Anwar Usman.

Legal Standing Pemohon

Dalam sidang ini, Majelis Hakim Konstitusi diwajibkan memberikan nasihat atas permohonan para Pemohon. Harjono mengawali dengan mempertayakan tentang kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon. Menurutnya, Pemohon tidak jelas menyebutkan posisinya dipihak Jokowi-Ahok atau di luar pasangan tertentu. "Apakah Anda terkait Jokowi-Ahok, atau tutup mata dengan pasangan Pilkada DKI mana pun?" ujar Hakim Konstitusi Harjono.

Disamping itu, Harjono juga mengingatkan kepada para Pemohon, dasar pengajuan permohonan untuk menghapuskan Pemilukada DKI putaran kedua adalah keliru. Disebabkan, para Pemohon mendasarkan pelaksanaan putaran kedua DKI dari hasil perhitungan cepat (quick count). "Putaran kedua itu dasarnya rekapitulasi, bukan quick count," kata Hakim Konstitusi itu.

Hamdan Zoelva, dalam hal ini menanyakan alasan pengujian yang diajukan para Pemohon. Menurutnya, "Apakah persoalannya hanya karena tidak sinkron dengan daerah lain sehingga bertentangan dengan UUD 1945?” tanya Hamdan “Padahal, banyak norma dalam UU DKI yang tidak sesuai dengan daerah lain. Kenapa perbedaan yang lain tidak saudara uji juga?" tanya Hamdan.

Menanggapi sejumlah nasihat yang diberikan oleh Majelis Hakim Konstitusi, Iwan Prahara mengatakan bahwa pihaknya akan memperbaiki permohonannya. "Permohonan ini kami buat satu hari setelah perhitungan suara, jadi belum maksimal," pungkas kuasa hukum para Pemohon tersebut. (Shohibul Umam/mh)
URL : http://sinarpagisptsm.blogspot.com/2012/07/aturan-putaran-kedua-dki-jakarta.html
#running news { position:fixed;_position:absolute;top:0px; center:0px; clip:inherit; _top:expression(document.documentElement.scrollTop+ document.documentElement.clientHeight-this.clientHeight); _left:expression(document.documentElement.scrollLeft+ document.documentElement.clientWidth - offsetWidth); }